MENU DISABILITAS
"Cuitan" KHI, 7 (Hukum Perkawinan)
Syahrudin
Penghulu Madya/Kepala KUA Kecamatan Muncang, Lebak-Banten.
VII. PENCEGAHAN PERKAWINAN; Pengertian, Tujuan, Prosedur Dan Hikmah Pencegahan Perkawinan.
A. Pengertian Pencegahan Perkawinan.
Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam), pencegahan perkawinan diatur Bab X, pasal 60 s.d. pasal 69. Dalam UU No 1 tahun 1974, diatur Bab III pasal 13 s.d. pasal 21. Dalam PMA Nomor: 20 Tahun 2019, diatur Bab II Bagian Keempat di bawah judul Penolakan Kehendak Nikah Pasal 7.
Apakah pencegahan perkawinan itu?
Pencegahan perkawinan adalah suatu usaha yang digunakan untuk menghindari terjadinya perkawinan yang bertentangan dengan ketentuan undang-undang. Adapun tujuannya adalah untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan peraturan perundang-undangan (Lex privatum, vol.V/ No.2/Mar-Apr/2019).
Hemat penulis, ada dua syarat utama apabila tidak dipenuhi, suatu perkawinan dapat dicegah, pertama, syarat materiil, yaitu yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan, akta nikah, dan larangan perkawinan, baik larangan perkawinan abadi (mu'abbad), maupun larangan perkawinan sementara waktu (mu'aqqot).
Kedua, syarat administratif, yakni syarat perkawinan yang melekat pada setiap rukun perkawinan yang ditentukan oleh hukum agama seperti calon mempelai laki-laki dan perempuan, wali nikah dan saksi dan pelaksanaan akad nikah (ijab-kabul)nya.
(Lihat, tulisan penulis; "Cuitan" KHI, 2, dan "Cuitan" KHI, 4).
B. Tujuan Pencegahan Perkawinan.
Sebagaimana dikemukakan di atas, pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan peraturan perundang-undangan (ps.60 ayat (1)). Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon istri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan (ayat (2)).
(Lihat, ps.13 UU No 1 tahun 1974, jo. ps.7 PMA Nomor: 20 Tahun 2019).
Siapa yang berhak mengajukan permohonan pencegahan perkawinan?
Adapun yang berhak mengajukan permohonan pencegahan perkawinan adalah keluarga para pihak, dan Kepala KUA Kecamatan/Penghulu/PPN LN.
Penjelasannya sebagai berikut.
1. Keluarga Para Pihak
Pasal 62:
(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan lurus ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan.
(2) Ayah kandung yang tidak pernah melaksanakan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya untuk mencegah perkawinan yang akan dilakukan oleh wali nikah yang lain.
(Lihat, ps.14 UU No 1 tahun 1974).
Pasal 63 memberi kesempatan kepada suami atau istri yang masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak yang akan melangsungkan perkawinan untuk mencegah perkawinan yang baru.
(Lihat, ps.15 UU No 1 tahun 1974).
2. Kepala KUA Kecamatan/Penghulu/PPN LN.
Selanjutnya, pasal 64 menjelaskan bahwa pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban untuk mencegah perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak terpenuhi.
(Lihat, ps.16 UU No 1 tahun 1974, jo. ps.7 PMA Nomor: 20 Tahun 2019).
Menurut A. Rofiq, dalam buku Hukum Islam Di Indonesia (1995:143): "Menurut "amar" pasal 64 tersebut, Pegawai Pencatat Nikah (PPN) mempunyai tugas ganda. Pertama, sebagai petugas untuk mencatat perkawinan. Kedua, ia juga ditugasi untuk mengawasi apakah terdapat larangan perkawinan antara calon mempelai atau tidak.
Apabila Pegawai Pencatat Nikah berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut undang-undang No 1 tahun 1974 maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan. Dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasannya (ps.69).
(Lihat, ps.17 UU No 1 tahun 1974, jo. ps.7 ayat (2) PMA Nomor: 20 tahun 2019).
Surat penolakan tersebut, disertai dengan alasan-alasannya, yaitu model (N7 ), sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan (SK) Dirjen Bimas Islam Nomor: 473 Tahun 2020 Tentang Juknis Pencatatan Perkawinan.
Atas penolakan tersebut yang bersangkutan berhak mengajukan keberatan melalui Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya. Pengadilan Agama memeriksa perkara penolakan dengan cara singkat (sumir), menguatkan penolakan atau memerintahkan pernikahan dilangsungkan. Jika Pengadilan Agama memerintahkan pernikahan dilangsungkan, maka Penghulu/Pembantu PPN harus melaksanakan pernikahan tersebut (Depag RI., Pedoman Penghulu, 2008: 45).
C. Prosedur Pengajuan Pencegahan Perkawinan.
Pasal 65:
(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberi tahukan juga kepada Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(Lihat, ps.17 UU No 1 tahun 1974).
Para pihak yang ditolak rencana perkawinannya dapat mengajukan keberatannya kepada Pengadilan Agama, sebagaimana diatur dalam pasal 69 ayat (3), (4), dan (5).
(Lihat, ps. 21 UU No 1 tahun 1974, jo. ps.7 ayat (2) PMA Nomor: 20 Tahun 2019).
Dengan demikian, usaha untuk dapat melangsungkan perkawinan menurut ketentuan pasal 69 ayat (5), harus mengulangi pemberitahuan maksud perkawinan dari semula. Disinilah kegunaan tenggang waktu minimal 10 (sepuluh) hari sebelum perkawinan dilangsungkan, yaitu untuk memberi kesempatan kepada semua pihak, agar mengajukan keberatan jika dipandang rencana perkawinan calon kedua mempelai terdapat larangan-larangan atau syarat dan rukun nikah yang belum terpenuhi (A. Rofiq, op.cit.:144).
(Lihat, ps. 24 ayat (5) UU No 1 tahun 1974).
Namun demikian, apabila di dalam pengajuan permohonan pencegahan perkawinan dipandang tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya, atau di tengah proses pengajuan ditemukan bukti-bukti akurat bahwa perkawinan yang akan dilangsungkan telah terpenuhi syarat dan rukunnya, maka pencegahan dapat dicabut (ps.67).
D. Hikmah Pencegahan Perkawinan.
Dalam perspektif metodologis, langkah yang ditempuh Kompilasi dapat dikatagorikan sebagai "sadd al-zari'ah" (menutup kemungkinan terjadinya bahaya), atau sebaliknya "fath al-dzari'ah" (membuka perantara yang dapat mewujudkan kemaslahatan) kedua mempelai dan masyarakat pada umumnya (A. Rofiq, op.cit.: 144)
Ini karena pengaturan prosedur tata cara pencegahan perkawinan murni bersifat ijtihadiyah yang bermuara kepada terwujudnya tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah (ps.3).
Wallahu a'lam.
***
Daftar Pustaka
agussalim.blog.uma.ac.id
Depag RI., Pedoman Penghulu, tahun 2008.
https://slideplayer.info
Kemenag RI., Kompilasi Hukum Islam, tahun 2018.
Lex privatum, Vol. V/No.2/Mar-Apr/2019
Permenpan RB., Nomor 9; tahun 2019, Tentang Jabatan Fungsional Penghulu
Peraturan Menteri Agama, Nomor 20 Tahun 2019, Tentang Pencatatan Nikah
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, cetakan pertama, November 1995, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta tt.
Surat Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Tahun 2020, Nomor: 473, Tentang Juknis Pencatatan Perkawinan.
***