MENU DISABILITAS
"Cuitan" KHI, 6 (Hukum Perkawinan)
Syahrudin
Penghulu Madya/Kepala KUA Kecamatan Muncang, Lebak-Banten.
VI. LARANGAN PERKAWINAN; Larangan Perkawinan " Mu'abbad" Dan Larangan Perkawinan " Mu'aqqot".
A. Pengertian Larangan Perkawinan
Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam), larangan perkawinan diatur Bab VI, pasal 39 s.d. pasal 44. Dalam UU No 1 tahun 1974 diatur pasal 8, 9, dan pasal 10.
Larangan perkawinan dalam bahasa agama disebut mahram. Ada dua macam larangan perkawinan, pertama, larangan mu'abbad (abadi), kedua, larangan mu'aqqot (sementara). (A. Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia,( 1995: 122).
Menurut Sayyid Sabiq: "Larangan kawin abadi yaitu perempuan yang haram dikawini oleh laki-laki sepanjang hayat dikandung badan (selama-lamanya). Sedangkan larangan kawin sementara, yaitu perempuan yang haram dikawininya selama waktu tertentu. Apabila keadaannya sudah berubah, haram sementaranya hilang dan menjadi halal." (Sayyid Sabiq (Moh. Tholib) Fikih Sunnah 6, 1980: 130).
Penjelasan kedua larangan perkawinan tersebut adalah sebagai berikut.
B. Larangan Perkawinan "Mu'abbad" Dan Larangan "Mu'aqqot".
1. Larangan Perkawinan Mu'abbad (Abadi)
Pasal 39:
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan:
(1) Karena pertalian nasab:
a. dengan seorang wanita yang melahirkan atau menurunkannya atau keturunannya;
b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.
(2) Karena pertalian kerabat semenda:
a. dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya;
b. dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya;
c. dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qobla al-dukhul;
d. dengan seorang wanita bekas istri keturunannya.
(3) Karena pertalian sesusuan:
a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;
b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;
c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah;
d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
e. dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.
Ketentuan tersebut didasarkan kepada firman Allah SWT., QS. An-Nisa/4: 22-23 .
2. Larangan Perkawinan Mu'aqqot (Sementara).
Adapun larangan perkawinan mu'aqqot (sementara) adalah sebagai berikut:
1). Menurut ketentuan pasal 40:
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama Islam.
2). Menurut ketentuan pasal 41 dilarang kawin karena pertalian nasab dengan perempuan yang telah dikawini atau sesusuan:
(1) Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan:
a. saudara kandung sesusuan atau seibu atau keturunannya;
b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun istri-istrinya telah ditalak raj'i, tetapi dalam masa iddah.
Ketentuan pasal 40 dan pasal 41 tersebut didasarkan kepada firman Allah SWT., QS. An-Nisa/4:24 ; QS. Al-Baqarah/2: 228 dan 221.
3). Larangan perkawinan mu'aqqot berikutnya adalah, memadu istri dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan istrinya, didasarkan kepada hadis Rasulullah SAW., riwayat dari Abu Hurairah ra., Muttafaq'alaih. (Imam Ibnu Hajar (Muhieddin Al-Selek), Buluugh Al-Maraam, 1993:432 ).
4). Larangan perkawinan mu'aqqot berikutnya adalah karena pengaruh situasi, yaitu orang yang menikah dan yang menikahkan tidak sedang dalam ihram, baik ihram haji atau umrah (ps.54).
Ketentuan tersebut diambil dari hadis Rasulullah SAW., dari Utsman ra., HR. Muslim (Ibid).
5). Larangan perkawinan berikutnya adalah antara seorang laki-laki dengan bekas istrinya yang ditalak ba'in (talak tiga) atau dili'an (ps.43).
Ketentuan tersebut didasarkan kepada hadis riwayat 'Aisyah ra., HR. Muslim. (Ibid).
6). Larangan perkawinan mu'aqqot berikutnya adalah, melarang wanita Islam kawin dengan seorang pria non muslim (ps. 44).
Ketentuan tersebut didasarkan kepada firman Allah SWT., QS. Al-Baqarah/2:221).
C. Demikianlah larangan perkawinan mu'abbad (abadi) dan larangan kawin mu'aqqot (sementara) menurut KHI.
Wallahu a'lam.
***
Daftar Pustaka
Azizah, Nur Pulungan, Apakah Zina Menyebabkan Kemahraman, Rumah Fiqih Publishing, Jakarta Selatan, cetakan pertama, Desember 2018.
Depag RI., Al-Qur'an dan Tafsirnya, jilid 1, 3, 6, cetakan pertama, J. Ula 1430 H/Mei, 2009.
Hamidy, Mu'amal, Imron A.M., Tafsir Ayat Ahkam 1, PT Bina Ilmu, Surabaya, Desember 2011.
Ibnu Hajar Asqalany, Hafidh, Al-(Muhammad Al-Faqy), Bulughul Maram, Ihya'il Maktab Ahmad Al-Arobiyah, Indonesia.
Ibnu Hajar, Imam, (Muhieddin Al-Selek), Buluugh Al-Maraam, Min Aadilat Al-Aahkaam, Dar el-Fiker, Beyrouth, Liban 1993.
Ibnu Hajar, Asqalany Hafidh Al (Muh. Syarief S), Tarjamah Bulughul Maram, PT Alma'arif Bandung, cetakan pertama:1961.
Kemenag RI., Tahun 2018, Kompilasi Hukum Islam
Muh. Abu FH., Zainuri S., Kamus Istilah Agama Islam (KIAI), PT Albama, tt.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, cetakan pertama, November 1995, PT Raja Grafindo Persada Jakarta, tt.
Sabiq, Sayyid (M. Tholib), Fikih Sunnah 6, cetakan pertama, 1980 PT Alma'arif Bandung, tt.
Sarwat, Ahmad, Wanita Yang Haram Dinikahi, Rumah Fiqih Publishing, Jakarta Selatan, cet.1, September 2018.
Suja', Abu (Achmad Sunarto), Terjemah Matan Ghoyah Wattaqrib, Husaini Bandung, cetakan;2001.
Suja', Abu (A. Sarwat), Terjemah Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib 6, Kitab Pernikahan, Rumah Fiqih Publishing, Jakarta Selatan, cetakan pertama, Maret 2018.
Taqiyuddin, Abubakar Al-Husaini, Al-Imam, Kifayatul Akhyar, juz 2, Raja Murah, Pekalongan tt.
***