MENU DISABILITAS
"Cuitan" KHI, 4 (Hukum Perkawinan)
Syahrudin
Penghulu Madya/Kepala KUA Kecamatan Muncang, Lebak-Banten.
IV. MAHAR; Pengertian, Istilah, Dan Jenis-jenis Mahar Yang Wajib Dibayar.
A. Pengertian Mahar
Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam), masalah mahar diatur dalam Bab V pasal 30 s.d. pasal 38.
UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak mengatur masalah mahar.
Apakah mahar itu?
Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita baik berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam (ps.1 huruf d)
Mahar merupakan komitmen cinta yang diberikan dengan penuh sukarela (nihlah). Kedua kondisi tersebut mengindikasikan bahwa mahar tidak seharusnya memberatkan seorang pria, apalagi menghalanginya untuk menikahi seorang perempuan. Hukum Islam sendiri tidak memberikan batasan baku tentang besaran jumlah mahar. Akan tetapi berbagai sabda Rasulullah SAW., melalui berbagai hadis menganjurkan mahar itu ringan dan mudah. Dalam rangkaian hadis tersebut disebutkan bahwa Rasulullah SAW., pernah merestui pernikahan dengan mahar berupa cincin besi, sepasang sandal, bahkan jasa pengajaran Al-Qur'an (Adib Machrus dkk., Fondasi Keluarga Sakinah, 2018:35).
Oleh karena itu cukup tepat apa yang dirumuskan pasal 31 Kompilasi yang lebih menekankan segi-segi kesederhanaan dan kemudahan. Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan dalam Islam, tidaklah sebagai kontrak "jual beli" tapi lebih mementingkan aspek ibadah maka disebut sebagai "perjanjian kokoh" atau mitsaqon ghalidzan (A. Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, 1995:103)
B. Istilah Mahar.
Al-Shan'any dalam kitab Subulussalam (tt.: 147), mengatakan bahwa mahar mempunyai delapan nama yang dinadhamakan dalam perkataannya: shadaq, mahar, nihlah, fariidhah, hiba', ujr, 'uqr, 'ala'iq.
Sejalan dengan Al-Shan'any, Imam Taqiyuddin dalam Kifayatul Akhyar (tt.:60), mengatakan, selain dinamakan mahar Istilah lain maskawin dalam Al-Qura'n adalah: shadaq, nihlah, fariidhah, dan ajr. Sedangkan dalam hadis: maskawin itu dinamakan: mahar, aliiqah dan 'uqr.
C. Hukum Membayar Mahar.
Membayar mahar hukumnya wajib bagi calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak (ps.30).
Ketentuan tersebut didasarkan kepada firman Allah SWT., QS. An-Nisa/4:4: "Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati." (Depag RI., Al-Qur'an dan Tafsirnya, jilid 2, 2009:114).
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi miliknya (ps.32).
Pasal 33:
(1) Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai
(2) Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria.
Penyebutan mahar dan jumlah serta bentuknya termasuk didalamnya tunai atau bukan, diucapkan pada saat akad nikah, yaitu pada saat ijab oleh wali mempelai wanita dan dikonfirmasi dengan jawaban kabul oleh mempelai laki-laki (A. Rofiq, loc. cit.).
Oleh karena sifatnya bukan rukun dalam perkawinan, maka kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Bagitupula halnya dalam keadaan mahar terutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan (ps.34).
Pembayaran mahar yang ditangguhkan tersebut (terutang), tergantung pada persetujuan istri. Apabila mempelai laki-laki belum menyerahkan mahar, mempelai wanita mempunyai hak untuk menolak berhubungan suami istri sampai dengan dipenuhi mahar tersebut (Zainudin bin Abdul Aziz al-Malibary (Ahmad Rajieh), Terjemah Fathul Mu'in, 2003:79-80).
Demikian juga apabila terjadi perceraian "qobla al-dukhul", suami wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah (ps.35 ayat (1)).
Ketentuan tersebut didasarkan kepada firman Allah SWT., QS. Al-Baqarah/2:237: "Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka (bayarlah) seperdua dari yang telah kamu tentukan..." (Depag RI., Al-Qu'ran dan Tafsirnya, jilid 1, 2009:350).
D. Jenis-jenis Mahar
Kompilasi merinci jenis-jenis mahar seperti mahar mitsil, mahar hilang, dan mahar cacat. Penulis kutip sebagai berikut.
1. Mahar Mitsil.
Apabila suami meninggal dunia qobla al-dukhul, tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil (ps.35 ayat (2)).
Apakah mahar mitsil itu?
Menurut Isnan Ansory, dalam tulisannya "Fiqih Mahar" (2020:19-20), mahar mitsil yaitu mahar yang belum ditentukan/disebutkan dalam akad pernikahan dan bisa jadi belum disepakati nilainya, namun sang suami terlanjur meninggal dunia.
Diantara sebab adanya mahar mitsil ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut: "Dari Ibnu Mas'ud ra., bahwa dia ditanya tentang seorang lelaki yang menikahi seorang wanita. Lelaki tersebut belum menentukan mahar juga belum menyetubuhinya dan tiba-tiba meninggal dunia." Ibnu Mas'ud menjawab: "Wanita itu berhak mendapatkan mahar yang sama (mahar mitsil) dengan mahar istri lainnya, tanpa harus menjalani masa idah dan dia mendapatkan harta warisan." Lantas Ma'qil bin Sinan al-Asyja'i berdiri sambil berkata: "Rasulullah SAW., telah memberi keputusan hukum mengenai Barwa' binti Wasyiq, salah seorang dari kaum kami seperti yang engkau putuskan." Mendengar itu, Ibnu Mas'ud merasa senang. HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasai dan Ahmad (Ibid).
2. Mahar Hilang.
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang (ps.36).
Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaian diajukan ke Pengadilan Agama (ps.37).
3. Mahar Cacat
Bagaimana apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang?
Pasal 38 mengatur sebagai berikut:
(1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas
(2) Apabila istri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan mahar dianggap masih belum dibayar.
E. Demikianlah ketentuan mengenai mahar atau mas kawin yang diatur dalam Kompilasi.
Wallahu a'lam
***
Daftar Pustaka
Abdullah Ajiz, Zainudin bin al-Malibary (A. Rajieh) Terjemah Fathul Mu'in 2, Penerbit HUSAINI Bandung, Cetakan : Mei 2003
Ansory, Isnan, Fiqih Mahar, Rumah Fiqih Publishing, Jakarta Selatan, cetakan: Juli 2020.
Arifandi, Firman, Serial Hadis Nikah 4: Mahar Sebuah Tanda Cinta Terindah, Rumah Fiqih Publishing, cetakan pertama, Desember 2018.
Depag RI. Al-Qur'an dan Tafsirnya, jilid 1, 2, 10, cetakan ketiga, J. Ula 1430 H/Mei, 2009.
Kemenag RI., Kompilasi Hukum Islam, tahun 2018.
Machrus, Adib dkk., Fondasi Keluarga Sakinah, Ditjen Bimas Islam Kemenag RI., tahun 2017.
Muhammad FH., Z. Siroj, Kamus Istilah Agama Islam (KIAI), Albama, tt.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, cetakan pertama, November 1995, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, tt.
Taqiyuddin, Al-Imam (A. Zaidun, A. Ma'ruf A.), Terjemahan Kifayatul Akhyar jilid II, cetakan ke 3 tahun 2011, PT Bina Ilmu Surabaya.
San'any, Al-, Subulussalam, Juz III, Toha Putra: Semarang, tt.
Taqiyuddin Al-Imam, Kifayatul Akhyar, juz 2, Raja Murah Pekalongan, tt.
***