MENU DISABILITAS

Jln. Syech Nawawi Al Bantani Blok Instansi Vertikal No.01 KP3B Curug Kota Serang
[email protected]
Artikel

Qute KHI Khi, 5 (Hukum Perkawinan)

"Cuitan" KHI, 5 (Hukum Perkawinan)


  • Rabu, 26 Jan 2022
  • 1079 Views

Share this article

Syahrudin Penghulu Madya/Kepala KUA Kecamatan Muncang, Lebak-Banten. Foto : Syahrudin Penghulu Madya/Kepala KUA Kecamatan Muncang, Lebak-Banten.

Syahrudin

Penghulu Madya/Kepala KUA Kecamatan Muncang, Lebak-Banten.

 

V. PENCATATAN PERKAWINAN; "Angin Segar" Kemaslahatan Bagi Ummat Islam.

A. Setiap Perkawinan Dicatat.

Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam), pencatatan perkawinan, diatur Bab II pasal 5. Dalam UU No 1 tahun 1974 diatur Bab I pasal 2 ayat (2). Dalam PP No 9 Tahun 1975 diatur pasal 2. Dalam PMA Nomor: 20 Tahun 2019, diatur Bab I pasal 1 ayat (1), pasal 2, pasal 9, pasal 20, pasal 24 s.d. pasal 26, pasal 28, 29, pasal 36, dan pasal 39.

Dasar hukum pencatatan perkawinan tersebut, dianalogikan atau diqiyaskan kepada ayat mu'amalah/mudayanah QS. Al-Baqarah/2:282, yang mengisyaratkan bahwa adanya bukti otentik sangat diperlukan untuk menjaga kepastian hukum. Bahkan redaksdinya dengan jelas menggambarkan bahwa pencatatan didahulukan daripada  kesaksian yang dalam perkawinan menjadi salah satu rukun (A. Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, 1995: 120).

(Lihat, QS. Al-Baqarah/2: 282).

Pasal 5:

(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.

(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.

Sejalan dengan KHI tersebut, dalam PMA Nomor: 20 Tahun 2019 Tentang Pencatatan Pernikahan, dijelaskan secara rinci, mulai dari pengertian pencatatan pernikahan, yaitu kegiatan pengadministrasian peristiwa pernikahan (ps. 1 ayat (1).

Pencatatan pernikahan dalam Akta Nikah dilakukan oleh Kepala KUA Kecamatan atau PPN LN . Pencatatan Pernikahan meliputi: a. pendaftaran kehendak nikah; b. pemeriksaan kehendak nikah; c. pengumuman kehendak nikah; d. pelaksanaan pencatatan nikah; dan e. penyerahan Buku Nikah (ps.2)

Pasal 9 dan pasal 20 PMA, mengatur tentang kapan pelaksanaan pencatatan nikah dilakukan. Pasal 24, mengatur tentang pengadministrasian peristiwa nikah dengan menggunakan SIMKAH (Sistem Informasi Manajemen Nikah) berbasis web. Pasal 25, mengatur Pencatatan  Isbat nikah.

Pasal 26 dan 27, mengatur pencatatan pernikahan campuran yaitu pernikahan warga negara Indonesia dengan warga negara asing.

Kemudian pasal 28 PMA mengatur tentang pencatatan pernikahan warga negara asing (WNA) yang beragama Islam

Pasal 29 s.d. pasal 32, mengatur Pencatatan pernikahan di luar negeri, dicatat oleh Kepala KUA Kecamatan pada buku pendaftaran nikah luar negeri.

Selanjutnya PMA mengatur Tentang Tata Cara "Pencatatan" itu sendiri, dan mengatur tentang Pencatatan Duplikat Buku Nikah (ps.36, 39).

Pada 1 Juli 2020, ditetapkan Surat Keputusan (SK) Dirjen Bimas Islam Kemenag RI., No 473 Tentang Juknis Pencatatan Pernikahan sebagai pelaksanaan PMA Nomor: 20 Tahun 2019 tersebut.

Kesimpulan dari SK Dirjen ini yaitu, pertama, sebagai acuan pihak yang berkepentingan dan satu pengertian dalam pencatatan nikah orang Islam pada Kemenag.

Kedua, lampiran Juknis merupakan satu kesatuan dengan SK. Dirjen ini.

Ketiga, mulai berlaku sejak ditetapkan, yaitu pada 1 Juli 2020. (https://www.rarangeselatan.desa.id/artikel/2020/8/16/sk-dirjen-bimas-no-473-tahun-2020-tentang-juknis-pencatatan-pernikahan).

B. Manfa'at Pencatatan Perkawinan

Hemat penulis, ada dua manfaat pencatatan perkawinan, pertama, manfaat preventif, yaitu untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat-syarat perkawinan, baik menurut hukum agama dan kepercayaannya itu maupun menurut perundang-undangan,  sebagaimana diatur dalam pasal 3 s.d. pasal 11, PP No.9 tahun 1975.

Kedua, manfaat refresif, dapat dijelaskan sebagai berikut. Bagi suami istri yang karena suatu hal perkawinannya tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah (Buku Nikah), Kompilasi membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan isbat (penetapan) nikah kepada Pengadilan Agama, sebagaimana diatur pasal 7 dan pasal 25 PMA.

 

Dalam kaidah hukum Islam, pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan Akta Nikah, sangat jelas mendatangkan maslahat bagi tegaknya rumah tangga sesuai dengan kaidah ushul fikih: "Dar'ul mafaasid muqoddamu 'ala jalbil mashoolih " (menolak kemadaratan lebih diutamakan daripada memperoleh kemaslahatan). Dan kaidah: "Tashorrufu al-imaamu 'ala ro'iyyatihi manuutun bi al-mashlahati "(suatu tindakan (peraturan) pemerintah, berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya.)" (A. Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah, tt.:35).

Sejalan dengan kaidah di atas, Adib Machrus dkk., dalam buku Fondasi Keluarga Sakinah, (2021: 123),  menjelaskan bahwa perkawinan yang tidak tercatat tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak diakui oleh negara yang akan mengakibatkan beberapa masalah (kemadaratan) dalam kehidupan rumah tangga, misalnya:

a. Tidak adanya jaminan hukum. Pasangan pernikahan ini tidak berhak memiliki Akta Nikah atau Akta Cerai.

b. Tidak diperbolehkan mencantumkan nama ayah kandung pada Akta Kelahiran anak secara otomatis karena tidak adanya Akta Nikah (Surat Nikah) orang tua yang menjadi dasarnya. Hal ini akan memberikan dampak buruk pada anak mengingat mereka dipandang oleh negara dan masyarakat sebagai anak yang lahir di luar perkawinan. Di samping itu Akta Kelahiran juga akan berpengaruh pada dokumen-dokumen negara lainnya yang akan dimiliki anak hingga dewasa.

c. Jika terjadi perpisahan, maka anak tersebut tidak bisa mendapatkan hak waris dari orang tuanya

d. Jika terjadi perpisahan, istri tidak bisa menuntut nafkah yang harus dibayar oleh suami.

e. Dimungkinkan adanya penyelewengan-penyelewengan oleh satu pasangan. Ini yang seringkali terjadi dan tentu sangat merugikan pasangan.

C. Pencatatan Perkawinan; "Angin Segar" Kemaslahatan Bagi Umat Islam.

Bertolak dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan Akta Nikah, ( meminjam istilah teknis dalam epistemiologi hukum Islam) adalah metode istilah atau maslahat mursalah (A. Rofiq, op.cit.:283).

Jadi, hemat penulis, pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan Akta Nikah, merupakan "angin segar" kemaslahatan bagi umat Islam.

Wallahu a'lam

***

Daftar Pustaka

Depag RI., Al-Qur'an dan Tafsirnya, jilid 1, cetakan ketiga, J. Ula 1430 H/Mei, 2009.

Hamid, Hakim Abdul, Mabadi Awwaliyah, Sa'diyah Putra, Jakarta, tt.

https://www.rarangselatan.desa.id/artikel/2020/8/16/sk-dirjen-bimas-no-473-tahun-2020-tentang-juknis-pencatatan-pernikahan.

Kemenag RI., Tahun 2018, Kompilasi Hukum Islam.

Kurniawati, Vivi, Nikah Siri, Rumah Fiqih Publishing, Jakarta Selatan, cetakan pertama, Februari 2019.

Machrus Adib, dkk., Fondasi Keluarga Sakinah, Subdit Bina Keluarga Sakinah, Direktorat Bina KUA & Keluarga Sakinah, Ditjen Bimas Islam Kemenag RI., tahun 2021.

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi RI., Nomor: 9 Tahun 2019, Tentang Jabatan Fungsional Penghulu

Peraturan Menteri Agama RI., Nomor: 20. Tahun 2019 Tentang Pencatatan Pernikahan.

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, cetakan pertama, November 1995, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta tt.

***