MENU DISABILITAS
"Cuitan" KHI, 8 (Hukum Perkawinan)
Syahrudin
Pengulu Madya/Kepala KUA Kecamatan Muncang, Lebak-Banten
VIII. PEMBATALAN PERKAWINAN; "Menelisik" Hubungan Hukum Antara Anak Dan Orang Tua Yang Dibatalkan Perkawinannya.
A. Pengertian Pembatalan Perkawinan.
Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam), pembatalan perkawinan diatur Bab XI pasal 70 s.d. pasal 76. Dalam UU No 1 tahun 1974 diatur Bab IV, pasal 22, 24 dan pasal 26.
Apakah pembatalan perkawinan itu?
Pembatalan perkawinan adalah upaya membatalkan perkawinan setelah berlangsungnya akad nikah karena diketahui adanya larangan menurut hukum atau peraturan perundang-undangan tentang perkawinan (Depag RI., Pedoman Penghulu, 2008:46).
Pembatalan perkawinan dilakukan oleh Pengadilan Agama dalam daerah hukum tempat pernikahan dilakukan atau tempat tinggal kedua suami istri (Ibid).
B. Perkawinan Yang Dapat Dibatalkan.
Pasal 71:
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud;
c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam Iddah dari suami lain;
d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974.
e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Pasal 72 mengatur tentang hak-hak suami atau istri untuk mengajukan pembatalan, manakala perkawinan dilangsungkan dalam keadaan diancam, ditipu atau salah sangka. Secara rinci penulis kutip sebagai berikut:
Pasal 72:
(1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.
(Lihat, pasal 27 UU No 1 tahun 1974).
Adapun perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman, status hukumnya sama dengan orang yang dipaksa dan tidak mempunyai akibat hukum sebagaimana sabda Rasulullah SAW.: "Dibebaskan dari ummatku kekeliruan dan kelupaan serta perbuatan yang terpaksa dilakukannya." (M. Al-Khudhori Biek (Zaid H. Al-Hamidi), Terjemah Ushul Fiqih 1, tt.:147).
Demikian juga halnya dengan orang yang salah sangka terhadap diri suami atau istrinya. Status hukumnya sama dengan orang yang khilaf. Tidak berakibat hukum. Kecuali apabila ada indikasi lain seperti diatur dalam pasal 72 ayat (3): "Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak dapat menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur."
(Lihat, ps.27 ayat (3) UU No 1 tahun 1974).
C. Orang Yang Berhak Mengajukan Pembatalan Perkawinan
Siapakah yang berhak mengajukan permohonan pembatalan perkawinan?
Pasal 73:
Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah:
a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau istri;
b. suami atau istri;
c. pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang;
d. para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.
(Lihat, ps.23 UU No 1 tahun 1974).
Pasal 74 mengatur cara beracara dalam permohonan pengajuan pembatalan perkawinan, dan mengatur kapan mulai berlakunya keputusan pembatalan perkawinan tersebut:
(1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau perkawinan dilangsungkan.
(2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
(Lihat, ps.28 UU No 1 tahun 1974).
D. "Menelisik" Hubungan Hukum Antara Anak Dengan Orang Tua Yang Dibatalkan Perkawinannya
Jika pembatalan perkawinan benar-benar terjadi bagaimana hubungan hukum antara anak dengan orang tua yang dibatalkan perkawinannya?
Pasal 75 dan 76 Kompilasi mengatur, akibat hukumnya jangan sampai menimbulkan kerugian dan kesengsaraan bagi anak yang lahir dari perkawinan tersebut.
Menurut A. Rofiq, (1995: 15), tujuan pasal 76 tersebut adalah untuk melindungi kemaslahatan dan kepentingan hukum serta masa depan anak yang perkawinan ibu bapaknya dibatalkan. Anak-anak tersebut tidak dapat dibebani akibat kesalahan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Meskipun sesungguhnya secara psikologis (jika pembatalan perkawinan benar-benar terjadi) akan tetap membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi kepentingan anak-anak tersebut. Tetapi demi hukum, maka kebenaran harus ditegakkan meski kadang membawa kepahitan.
Penulis kutip pasal 76:
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.
Wallahu a'lam.
***
Daftar Pustaka
agussalim.blog.uma.ac.id
Depag RI., Pedoman Penghulu, tahun 2008.
https://slideplayer.info
Kemenag RI., Kompilasi Hukum Islam, Tahun 2018
Khudhori Biek, Muh (Zaid H. Al-Hamidi), Terjemah Ushul Fiqih 1, Raja Murah-Pekalongan, tt.
Lex privatum, Vol.V/No.2/Mar-Apr/2019.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, cetakan pertama, November 1995, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, tt.
Kementerian Agama RI., Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah, tahun 2018, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan.
***