MENU DISABILITAS
"Cuitan" KHI, 9 (Hukum Perkawinan)
Syahrudin
Penghulu Madya/Kepala KUA Kecamatan Muncang, Lebak-Banten.
IX. PERJANJIAN PERKAWINAN; Ta'liq Talak Dan Perjanjian Lain Yang Tidak Bertentangan Dengan Hukum Islam.
A. Pengertian Perjanjian Perkawinan
Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam), perjanjian perkawinan diatur Bab VII pasal 45 s.d. pasal 52. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, diatur pasal 29. Dalam PMA RI., Nomor 20 Tahun 2019 Tentang Pencatatan Pernikahan diatur Bab VI pasal 22 dan pasal 23.
Apakah yang dimaksud dengan perjanjian perkawinan menurut Kompilasi?
Perjanjian perkawinan menurut KHI adalah kesepakatan bersama calon suami istri yang harus dipenuhi apabila mereka sudah menikah. Jika salah satu tidak memenuhi/melanggar perjanjian perkawinan tersebut, maka salah satunya bisa meminta untuk membatalkan perkawinannya begitu juga sebaliknya, sebagai sanksi atas tidak dipenuhinya perjanjian perkawinan tersebut (Sukardi, 2016).
B. Bentuk-bentuk Perjanjian Perkawinan.
Perjanjian perkawinan dapat dibuat dalam bentuk: ta'liq talak, dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam (ps. 45).
Menurut Erizka Permatasari, kata "dapat" dalam pasal tersebut di atas, merujuk kepada suatu kebolehan bagi umat Islam untuk membuat atau tidak membuat perjanjian perkawinan sehingga hukum asalnya adalah boleh/mubah.(new.hukumonline.com).
Sejalan dengan KHI, PMA Nomor: 20 Tahun 2019, pasal 22 ayat (2), menjelaskan bahwa perjanjian perkawinan dilakukan dihadapan notaris. Dicatat oleh Kepala KUA yang persyaratan dan tata caranya ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal (ps. 23).
1. Ta'liq Talak
Ta'liq talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang (ps.1 huruf e KHI).
Apabila keadaan yang disyaratkan dalam ta'liq talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, istri harus mengajukan persoalannya kepada Pengadilan Agama. Perjanjian ta'liq talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali ta'liq talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali (ps.46).
Sighat ta'liq talak ditentukan oleh Menteri Agama (ps.11 PMA Nomor: 3 Tahun 1975).
Adapun sigat ta'liq yang diucapkan suami sesudah dilangsungkan akad nikah adalah sebagai berikut:
SIGAT TA'LIQ
Bismillahirrahmanirrahim
Pada hari ini...tanggal... saya...bin...berjanji dengan sesungguh hati bahwa saya akan mempergauli istri saya bernama...binti...dengan baik (mu'asyarah bil ma'ruf) menurut ajaran Islam.
Kepada istri saya tersebut saya menyatakan sigat ta'liq sebagai berikut:
Apabila saya:
1. Meninggalkan istri saya selama 2 (dua) tahun berturut-turut;
2. Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya;
3. Menyakiti badan atau jasmani istri saya; atau
4. Membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya selama 6 (enam) bulan atau lebih,
dan karena perbuatan saya tersebut istri saya tidak rida dan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama, maka apabila gugatannya diterima oleh Pengadilan tersebut, kemudian istri saya membayar Rp.10.000,-(Sepuluh Ribu Rupiah) sebagai iwad (pengganti) kepada saya, jatuhlah talak saya satu kepadanya.
Kepada Pengadilan Agama saya memberikan kuasa untuk menerima uang iwad tersebut dan menyerahkannya kepada Badan Amil Zakat Nasional untuk keperluan ibadah sosial.
(Tempat, Tanggal, Bulan dan Tahun)
Suami
(Tanda tangan dan nama).
2. Perjanjian Lain Yang Tidak Bertentangan Dengan Hukum Islam
Selain ta'liq talak, perjanjian lain dapat berupa percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing. Boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau syarikat (ps.47).
(Lihat, ps.29 UU No.1/74, jo. ps.22 dan ps. 23 PMA Nomor: 20 Tahun 2019).
Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga (ps. 48).
Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan. Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya (ps. 49).
Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah. Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya di kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan. Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami istri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan suami istri dalam suatu surat kabar setempat. Apabila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga. Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga (ps. 50).
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada istri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama (ps.51).
Pasal 52 :
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan istri kedua, ketiga dan keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi istri yang akan dinikahinya.
B. Wajib Memenuhi Perjanjian Perkawinan
Apabila perjanjian perkawinan telah disepakati oleh kedua mempelai, masing-masing wajib memenuhinya sebagaimana diperintahkan Allah SWT., dalam QS. Al-Ma'idah/5:1:"Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji."(Depag RI., Al-Qur'an dan Tafsirnya, jilid 2, 2009:349) ; QS. Al-Isra/17:43:"dan penuhilah janji, karena janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya."(Depag RI., Al-Qur'an dan Tafsirnya, jilid 5, 2009:471).
Dari 'Uqbah bin Amir ra.,ia berkata, Rasulullah SAW., bersabda:"Sesungguhnya syarat yang paling hak dipenuhi itu ialah memenuhi apa yang buat menghalalkan farji/kemaluan "(Imam Ibnu Hajar, (Muhieddin Al-Selek), Bulughul Maram, 1993:434).
Wallahu a'lam
***
Daftar Pustaka
Departemen Agama RI., Al-Qur'an dan Tafsirnya, jilid 2, 5, cetakan ketiga, J. Ula 1430 H/ Mei, 2009.
Departemen Agama RI., Tahun 2008, Pedoman Akad Nikah.
Departemen Agama RI., Tahun 2008, Pedoman Penghulu.
Ibn Hajar, Imam (Muhieddin Al-Selek), Bulugh al-Maram min Aadilat al-Ahkam, Dar Al-Fikr, Beirut Libanon, 1993.
Kemenag RI., Tahun 2018, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia.
Machrus, Adib dkk., Fondasi Keluarga Sakinah, Subdit Bina Keluarga Sakinah, Direktorat Bina KUA & Keluarga Sakinah, Ditjen Bimas Islam Kemenag RI., Tahun 2021.
new.hukumonline.com.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, cetakan pertama, November 1995, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, tt.
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, cet.27, Sinar Baru Algensindo, 1994.
Sukardi, Kajian Yuridis Perjanjian Perkawinan Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, Jurnal Khatulistiwa-Journal of Islamic Studies, Volume 6, Nomor 1, Maret 2016.
***