MENU DISABILITAS
"Cuitan" KHI, 10 (Hukum Perkawinan)
Syahrudin
Penghulu Madya/Kepala KUA Kecamatan Muncang
X. PERKAWINAN WANITA HAMIL.
A. Wanita Hamil Dikawin Oleh Laki-laki Yang Menghamilinya
Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam), perkawinan wanita hamil diatur Bab VIII, pasal 53. Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, tidak mengatur perkawinan wanita hamil.
Pasal 53:
(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Dasar hukum ketentuan di atas adalah firman Allah QS. An-Nur/24: 3: " Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin." (Depag RI., Al-Qur'an dan Tafsirnya, jilid 6, 2009: 561).
Menurut A. Rofiq (1995: 165): "Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami bahwa kebolehan kawin dengan perempuan hamil oleh laki-laki yang menghamilinya adalah merupakan pengecualian. Karena laki-laki yang menghamili itulah yang tepat menjadi jodoh mereka. Pengidentifikasian dengan laki-laki musyrik menunjukkan keharaman wanita yang hamil tadi, adalah isyarat larangan bagi laki-laki baik-baik untuk mengawini mereka (Al-Baqarah/2: 221). Isyarat tersebut dikuatkan lagi dengan kalimat penutup ayat "wa hurrima dzalika 'ala al-mu'minin." Jadi, bagi selain laki-laki yang menghamili perempuan yang hamil tersebut, diharamkan untuk menikahinya."
Mengenai sebab turunnya ayat tersebut, menurut A. Aryani, dalam tulisannya: Halal Haram Menikahi Wanita Berzina Dan Hamil (2019: 16-17), adalah sebagai berikut:
1. An-Nasai menyatakan bahwa 'Abdillah bin Amr ra., berkata, ada seorang wanita bernama Ummu Mahzul (atau Ummu Mahdun) seorang musafih, dimana seorang laki-laki sahabat Rasulullah SAW., ingin menikahinya. Lalu turunlah ayat: "Seorang wanita pezina tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik dan hal itu diharamkan buat laki-laki mu'min."
2. Abu Daud, An-Nasai, At-Tirmidzi dan Al-Hakim meriwayatkan dari hadis Amru bin Syu'aib dari ayahnya, dari kakeknya bahwa ada seorang bernama Mirtsad datang ke Mekkah dan memiliki teman seorang wanita bernama 'Anaq. Lalu dia meminta izin pada Rasulullah SAW., untuk menikahinya, namun beliau tidak menjawabnya hingga turun ayat ini. Maka Rasulullah SAW., bersabda kepadanya: "Ya Mirtsad, seorang wanita Pezina tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik dan hal itu diharamkan buat laki-laki mukmin."
3. Para mufassirin mengatakan bahwa ayat ini selain untuk Mirtsad, juga untuk para sahabat yang fakir yang minta izin kepada Rasulullah SAW., untuk menikahi para wanita pelacur dari kalangan ahli kitab dan para budak wanita di Madinah, maka turunlah ayat ini.
Berdasarkan paparan di atas dapat dipahami bahwa keharaman menikahi wanita hamil akibat zina oleh laki-laki yang tidak menghamilinya adalah dalam rangka melindungi nilai dan martabat orang-orang yang beriman. Selain itu juga untuk mendudukkan secara sah mengenai status anak yang lahir akibat zina tersebut. Secara hukum anak zina hanya mempunyai nasab kepada ibunya saja, seperti juga halnya anak li'an, yaitu anak yang dinafikan oleh bapaknya dengan menuduh Ibunya berzina (A. Rofiq, loc.cit.).
Persoalannya adalah, bagaimana menghadapi masalah yang muncul apabila seorang perempuan hamil dikawin oleh laki-laki yang tidak menghamilinya, sementara KHI tidak merumuskan antisipasi jawabannya? Sementara kemungkinan perkawinan antara seorang laki-laki yang bukan menghamili perempuan yang hamil, sebagai "bapak" formal, karena laki-laki yang menghamilinya tidak bertanggungjawab, seringkali terjadi?
B. Wanita Hamil Dikawin Oleh Laki-laki Yang Bukan Menghamilinya.
Terkait masalah ini, para ulama silang pendapat sebagai berikut:
1. Madzhab Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi'iyah, membolehkan wanita hamil dikawin oleh laki-laki yang tidak menghamilinya. Bahkan Asy-Syafi'i mengatakan, baik laki-laki yang menghamili ataupun yang tidak menghamili, dibolehkan menikahinya.
Alasan mereka adalah:
a. Lafadz "hurrima" atau diharamkan di dalam ayat itu bukanlah pengharaman, namun tanzih (dibenci).
b. Kalaupun benar diharamkan, khusus untuk Mirtsad yang ingin menikahi wanita pezina, sesuai ayat tersebut diturunkan.
c. Ayat tersebut telah dibatalkan ketentuan hukumnya (dinasakh) oleh ayat lainnya yaitu: "Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah memampukkan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui." (QS. An-Nur: 32).
d. Dari 'Aisyah ra., Rasulullah SAW., pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda, awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal (HR. Tabrany dan Daruquthni).
e. Juga hadis ini: Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW., Istriku ini seorang yang suka berzina. Beliau menjawab، "Ceraikan dia," "Tapi aku takut memberatkan diriku," "Kalau begitu mut'ahilah dia." (HR. Abu Daud dan An-Nasai).
Mut'ahilah dia maksudnya adalah teruskan pernikahan kalian dan nikmati dia sebagai istri.
f. Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Al-Khattab ra., dan fuqaha umumnya. Mereka membolehkan seseorang untuk menikahi wanita pezina (A. Aryani, op. cit.: 22).
2. Madzhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah, mengharamkan menikahi wanita hamil akibat zina dinikahi oleh laki-laki yang tidak menghamilinya. Dan keharaman ini berlaku mutlak, baik kepada laki-laki yang menghamilinya atau ayah si bayi, dan juga kepada laki-laki lain. Dasar keharamannya adalah dalil-dalil sebagai berikut:
a. Nabi SAW., bersabda: "Janganlah disetubuhi (dikawin) seorang wanita hamil (karena zina) hingga melahirkan." (HR. Abu Daud).
b. Juga hadis: Dari Said Al-Musayyab, bahwa seseorang telah menikah dengan seorang wanita, namun baru ketahuan wanita itu dalam keadaan hamil. Maka kasus itu diangkat ke hadapan Rasulullah SAW., dan beliau memisahkan antara keduanya." (HR. Said bin Manshur) (Ibid).
C. Demikianlah perkawinan wanita hamil menurut Kompilasi.
Wallahu a'lam.
***
Daftar Pustaka
Aryani, A., Halal-Haram Menikahi Wanita Berzina Dan Hamil, Rumah Fikih Publishing, Jakarta Selatan, Cetakan pertama, Maret 2019.
Depag RI., Al-Qur'an dan Tafsirnya, jilid 6, cetakan ketiga, J. Ula 1430 H/Mei, 2009.
Kemenag RI., Tahun 2018, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, cetakan pertama, November 1995, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, tt.
***